Al-Ma’tsurat Dha’if? (Bagian I)
1/3/2007 | 13 Safar 1428 H | 10.307 views
Oleh: Aba AbduLLAAH AlhamduliLLAAHi wash Shalatu was Salamu ‘ala RasuliLLAAHi wa ‘ala ‘alihi,
Ikhwah wa akhwat fiLLAAH,
Semoga ALLAH SWT senantiasa mengumpulkan kita semua setiap waktu dalam manisnya ibadah, lisan yang basah dengan dzikruLLAAH, tubuh yang penat & letih dalam memperjuangkan ummat & membela agama ALLAH, hati yang ikhlas dan jauh dari hasad & ghill, aamiin ya RABB…
Dan segala puji bagi ALLAH jua, yang dengan nikmat-NYA telah menunjukkan kepada dakwah ini sebagian hasil dari perjuangan para mujahid-NYA, dakwah ini sedikit demi sedikit telah mulai mewarnai kehidupan berpolitik & bernegara, sekalipun masih belajar & walaupun dengan tertatih-tatih & terjungkal disana-sini, ia telah mulai menampakkan berbagai hasil positifnya bagi para penanamnya, liyu’jibuz-zurra’a liyaghizha bihimul kuffar, yang tidak akan diingkari kecuali oleh orang-orang yang menzhalimi dirinya sendiri…
Sekalipun dihujani berbagai kritik & bahkan juga tuduhan, baik secara langsung maupun melalui media massa, tetapi mereka yang berada di dalam sistem dapat melihat adanya perkembangan arus kebaikan & perbaikan yang signifikan dengan masuknya para da’i dalam sistem tersebut, lambat tapi pasti kebatilan mulai tergeser & al-haqq mulai menunjukkan pengaruhnya, waLLAAHu musta’an…
Ikhwah wa akhwat fiddin,
Beberapa hari yang lalu, ada beberapa ikhwah yang mengirim email maupun SMS ke ana, meminta menjelaskan tentang “Dzikir Al-Ma’tsurat” yang ditulis oleh Imam Al-Banna -rahimahuLLAAH- yang katanya banyak disebut sebagai kumpulan dzikir yang dha’if & maudhu’, oleh sebagian saudara kita fiddiin…
Ana teringat beberapa waktu yang lalu, saat berkesempatan mengunjungi Islamic Development Bank (IDB) Jeddah bersama beberapa asztidz, saat kami berada di Jeddah, kami bertemu dengan ikhwah disana, dan diminta memberikan taujih. Setelah selesai menyampaikan taujih, nampak ada seorang ulama Jeddah (yang menurut ikhwah disana tidak suka dengan harakah & hizb), ia bertanya demikian: Mengapa Al-Ikhwan mengamalkan doa Al-Ma’tsurat yang merupakan kumpulan hadits-hadits dha’if?
Saat itu saya tidak berkesempatan menjawabnya, karena telah dijawab oleh beberapa ikhwah yang lain, namun nampaknya beliau -hafizhahuLLAAH- merasa tidak puas. Maka saat ramah-tamah, saya mendekatinya & terjadi dialog sbb:
Saya: Apakah antum sudah membaca kitab-kitab kumpulan doa & dzikir yang ditulis oleh para ulama kita Salafus Shalih?
Beliau: Sudah, bini’matiLLAAH…
Saya: Apakah antum bisa menunjukkan kepada saya, satu saja dari kitab kumpulan doa mereka itu yang tidak berisi hadits-hadits dha’if?
Beliau: Maksud ustadz?
Saya: Saya memohon jika bisa ditunjukkan kepada saya, ada 1 saja kitab kumpulan doa/dzikir yang ditulis ulama salaf yang bersih dari hadits-hadits dha’if.
Beliau: Wah, ana belum pernah tuh mencek semuanya..
Demikianlah potongan diskusi kami dengan beliau -semoga ALLAH SWT mengampuni saya & beliau-, yang kesemuanya ini menunjukkan substansi masalah yang sebenarnya, yaitu telah beredarnya berbagai isu & fitnah seperti malam yang gelap gulita diantara para aktifis Islam, tanpa didasari sikap husnuzhan & rihabatus-shudur…
Seandainya kita semua berpijak pada prinsip husnuzhan & rihabatush-shudur kepada sesama aktifis & da’i Islam, maka kita bisa membagi pekerjaan dakwah ini untuk menggarap berbegai segmen berdasarkan karakteristik khusus (khashais) & spesialisasi (takhassusiyat) dari masing-masing gerakan Islam, dan tidak perlu disibukkan untuk membantah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh sesama saudara sendiri, yang malah amat sangat membantu & menguntungkan para musuh-musuh Islam untuk memecah-belah ummat, wabiLLAAHi nasta’in..
Kembali ke permasalahan Al-Ma’tsurat, maka ketahuilah wahai ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’anakumuLLAAH jami’an, bahwa kalau seorang yang alim, maka mereka akan tahu bahwa tidak ada satupun kitab yang ditulis ulama salafus-shalih yang khusus berisi kumpulan doa & dzikir yang tidak berisi hadits-hadits dha’if, sekedar untuk menyebutkan contoh, sampai kita Al-Adab Al-Mufrad karangan Kibarul Muhaddits (Tokoh Terbesar para Ahli Hadits) yaitu Imam Abi AbdLLAAH Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari (Imam Bukhari) juga banyak mengandung hadits-hadits dha’if…
Demikian pula kitab Al-Amalul Yaumi wa Laylah (baik yang ditulis oleh Imam An-Nasa’i, maupun oleh Imam Ibnu Sunni), kitab Al-Adzkar karangan Imam An-Nawawi, dan bahkan kitab Al-Kalimut Thayyib yang dikarang oleh salah seorang pelopor mujaddid pembersihan bid’ah & khurafat, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahuLLAAH- (yang telah di-syarah/diberi penjelasan oleh muridnya Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Al-Wabilus Shayyib) juga bertaburan hadits-hadits dha’if…
Lalu mengapa dengan banyaknya hadits-hadits dha’if dalam tulisan para ulama tersebut lisan mereka diam & tidak menyebarkan fitnah, sementara terhadap Al-Ma’tsurat (yang kalaupun ada hadits dha’ifnya, maka tidaklah sebanyak dalam kitab Al-Kalimut Thayyib-nya Syaikhul Islam) lisan mereka mencaci-maki kepada penulisnya, yang telah mempersembahkan hidupnya untuk Islam & disaksikan oleh banyak orang, kemudian lisan mereka sibuk menyebarkan aib & menggunjingkannya?!
Hanya salah satu dari 2 alasan, apakah karena mereka tidak berilmu, ataukah karena ghill (kedengkian) yang telah bersarang di dalam hati mereka, dan apapun dari kedua sebab itu adalah sangat menyedihkan dan merupakan sebuah kerugian besar..
Ikhwah wa akhwat fiddiin rahimakumuLLAAH,
Jika kita benar-benar berusaha memahami ilmu hadits, maka akan kita ketahui pendapat para muhaddits tidaklah sama, tash-hih maupun tadh’if juga dapat saja berbeda antara seorang muhaddits dengan muhaddits yang lain, maka berpegang kepada pendapat seseorang seperti Syaikh Al-Albani -rahimahuLLAAH- misalnya dalam perbedaan pendapatnya dengan Syaikh Syakir dalam men-shahih-kan & men-dha’if-kan adalah dibolehkan, namun jika menyatakan pasti Syaikh Albani-lah yang benar, maka hal tersebut perlu ditinjau dalam beberapa sisi.
Pertama, apakah yang berkata adalah seorang ahli hadits, sehingga pendapatnya bisa diterima atau yang bicara hanya seorang thalabul-ilmi? Kedua, kalaupun dia seorang ahli hadits maka apakah penelitiannya diterima semua peneliti hadits atau berbeda dengan penelitian orang lainnya? Ketiga, kalaupun ada beberapa peneliti menyatakan hal yang sama, maka apakah orang-orang menerima keadilan mereka itu atau merasa tidak ithmi’nan karena dianggap mewakili & memiliki “sikap keberagamaan yang tertentu”, dst.
Saya pribadi pernah menemui hal seperti di atas, saat di sebuah web milik saudara kita dikatakan bahwa hadits Piagam Madinah tidak shahih, mu’dhal, dst. Sebagai orang yang ber-husnuzhan pada saudaranya maka saya ber-istighfar karena saya telah berpegang kepada hadits-hadits tersebut (lih. Tulisan saya di millist & Web ini tentang: Koalisi Politik dalam Islam), sayapun ingin merujuknya, namun iseng saya membuka beberapa tulisan di web berkenaan tentang hadits Piagam Madinah tersebut, lalu kemudian saya menemukan bantahan terhadap hal tsb dari sebuah tulisan Syaikh Akram Dhiyauddin Al-Umary yang meneliti masalah tersebut & menemukan bahwa hadits-hadits tersebut walaupun secara tekstual dha’if namun sebenarnya ada di-isyaratkan dalam shahih Al-Bukhari.
Demikianlah ikhwah wa akhwat fiLLAAH rahimakumuLLAAH, maka terus-terang masalahnya tidak sesederhana yang dikira oleh sebagian orang, dan tentang Al-Ma’tsurat maka sudah banyak orang yang berusaha men-tahqiq hadits-hadits-nya, seperti Syaikh Ridhwan Muhammad Ridhwan, Syaikh DR AbduLLAAH Azzam, Syaikh Prof DR Abdul Halim Abu Syuqqah, dll. Maka kalaupun ingin dilakukan diskusi dalam masalah ini, maka tidak boleh dengan hujatan, tuduhan, dsb; karena para peneliti tersebut adalah orang yang berkafa’ah di bidangnya sebagai muhaddits. Karena itu, tidaklah semua itu tuduhan, cercaan & fitnah itu disebarkan, kecuali makin menunjukkan sedikitnya ilmu & rendahnya akhlaq seseorang.
Maka di akhir tulisan ini ana ingin menyampaikan kepada antum semua bahwa kita (AL-IKHWAN) tidak menyukai mengamalkan hadits-hadits yang dha’if apalagi maudhu’, kita selalu berusaha berpegang kepada yang shahih semampu kita, hal ini bisa dilihat oleh orang-orang yang inshaf (adil) pada buku-buku tulisan para ulama kita, jikapun ditemui adanya hadits dha’if maka itu bukanlah karena disengaja, melainkan kekhilafan belaka, bedakan dengan saudara kita dari sebagian kaum Sufi atau lainnya, yang memang secara sengaja mengumpulkan kitab dari hadits-hadits dha’if, seperti dalam kitab Durratun Nashihin, Fadha’ilul A’mal, dsb…
Rabbanaghfirlanaa wa li ikhwaninalladzina sabaquna bil iman, wala taj’al fi qulubina ghillan lilladzina amanu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar