Minggu, 05 Februari 2012

Syari’at Beramal Jama’i (Bagian Ke-2)

Syari’at Beramal Jama’i (Bagian Ke-2)

14/1/2008 | 5 Muharram 1429 H | 3.595 views
Oleh: Al-Ikhwan.net
Kirim Print
Di antara beberapa dalil sunnah wajibnya komitmen berjamaah adalah:
1. Hadits Marfu’ diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara, engkau menyembah-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatupun, berpegang teguh dengan semua tali Allah dan tidak berpecah belah dan engkau memberikan nasihat kepada orang yang Allah kuasakan memimpin urusan kalian” [1] .
2. Hadits Marfu’ riwayat Zaid bin Tsabit: “Tiga perkara yang tidak akan membuat tumpul hati seorang muslim: Ikhlas dalam beramal kepada Allah, memberikan nasehat kepada para pemimpin, dan komiten dengan jamaah kaum muslimin sebab seruan mereka selalu akan membentengi mereka” [2] .
3. Hadits Hudzaifah: “agar engkau komitmen terhadap jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka” [3] .
4. Hadits Marfu’ riwayat Al Harits bin Al Harits Al ‘Asy’ary: “Dan aku memerintahkan kalian lima perkara yang Allah perintahkan kepadaku: Selalu mendengar dan taat, berjihad, hijrah dan berjamaah, sebab barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal tanah maka sungguh ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya” [4] .
5. Hadits Marfu’ riwayat Ibnu Abbas: “Tangan Allah selalu menyertai jamaah” [5] .
6. Hadits tentang perpecahan ummat: “Dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuan puluh dua golongan masuk ke dalam neraka dan satu golongan masuk ke dalam surga yaitu Al Jamaah” [6] .
7. Hadits Mu’adz bin Jabal: “Sesungguhnya syaitan adalah serigalanya manusia sebagaimana serigala bagi kambing yang akan selalu mengincar kambing yang terlepas. Sebab itu, jauhilah oleh kalian berpecah belah dan tetaplah kalian dalam jamaah dan golongan umum/mayoritas” [7] .
Dan banyak lagi nas-nas hadits yang tidak mungkin disebutkan dan dijelaskan, sebab maksud dan tujuannya bukan memperinci akan tetapi memberikan isyarat untuk mengembalikan berbagai persoalan kepada landasan syar’i berdasarkan manhaj para salafus shaleh. Dan betapa indahnya sebuah ungkapan penyair:
“Cukuplah isyarat sandi bagi orang yang berakal.
Sedang selainnya diseru dengan panggilan yang keras”
.
Atsar-atsar salaf
1. Ahmad bin Jabir bin Samurah mentakhrij (mengeluarkan) bahwasanya Umar bin Khattab berkata dalam khutbahnya yang terkenal di Jabiyah: “Tetaplah kalian dalam berjamaah, Dan jauhilah berpecah belah, sebab syaitan selalu menyertai orang yang menyendiri dan terhadap dua orang ia akan lebih menjauh dan barang siapa yang menghendaki pertamanan surga maka hendaklah tetap dalam jamaah” [8] .
2. Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Putuskanlah sebagaimana kalian memutuskan sebab aku membenci perselisihan hingga sekalian manusia tetap berjamaah atau aku mati sebagaimana para sahabatmu mati” [9] .
3. Diriwayatkan Muhammad bin sirin dari Abi Mas’ud Al Anshari bahwasanya ia mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya saat terbunuhnya sahabat Utsman: “Tetaplah kalian dalam jamaah, sebab Allah tidak akan menghimpun ummat Muhammad dalam kesesatan” [10] . Qatadah berkata: “Pemilik rahmat Allah adalah orang yang berjamaah walaupun tempat dan jasad mereka berpisah” [11].
4. Dalam fikih ‘amali (aplikasi) para salaf, sebagaimana yang disampaikan ibnu Al Jauzi dari Abi Al Wafa’ bin ‘Aqil Al Hambali berkata: “aku melihat pada masaku Abu Bakar Al Aqfali pada masa pemerintahan Al Qaim apabila ia bangkit untuk mencegah kemungkaran menyertailah bersamanya para masyaikh (ulama-ulama senior) bersamanya, mereka tidak makan kecuali dari hasil kerja mereka” [12] .
Demikian pula Hisyam bin Hakim menegakkan amar ma’ruf besarta orang-orang yang bersamanya [13] .
Dan disebutkan dari Abdurrahman bin Muhammad Al baghdadi bahwa: “Ia memiliki pengikut dan sahabat-sahabat dalam menegakkan yang makruf dan mencegah kemungkaran” [14] .
Di antara perkataan para Ulama:
Ungkapan Imam Syafi’i: “Barang siapa yang mengatakan dengan ungkapan jamaah kaum muslimin, maka sungguh ia telah komitmen terhadap jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyalahi perkataan jamaah kaum muslimin maka sungguh ia telah mengingkari jamaah yang diperintahkan komitmen terhadapnya. Dan sesungguhnya kelalaian terdapat dalam perpecahan, adapun jamaah maka tidak akan mungkin lalai secara keseluruhan tentang makna Kitab, Sunnah dan Qiyas insya Allah” [15] .
Terkait dengan landasan syar’i beramal jama’i Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun lafadz Za’im (penjamin) sebagaimana kata kafil, qabiil dan Dhamiin, firman Allah: “Dan siapayang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku akan menjamin terhadapnya”. Maka barang siapa yang menjamin perkara sebuah kelompok maka ia dikatakan za’im (penjamin). Apabila ia menjamin perkara kebaikan maka sungguh perbuatan terpuji, dan apabila perkara keburukan maka perbuatan yang keji. Adapun kepala hizb (golongan) maka ia adalah pemimpin kelompok yang berhimpun yakni yang telah menjadi golongan. Apabila mereka berhimpun untuk menegakkan perintah Allah dan Rasul-Nya tanpa ditambah atau dikurangi, maka mereka adalah orang-orang yang beriman, kita harus loyal dan komitmen terhadap apa yang ada di antara mereka dan membela apa yang akan menghancurkannya… sebab Allah telah memerintahkan untuk bersatu dan melarang berselisih dan berpecah belah” [16] .
___
Maraji’: Adhwa ‘Alal Ushul Isyriin (Dr. Isham Basyir), penterjemah: Abu Zaki Al Kalimantany

Tidak ada komentar:

Posting Komentar