Minggu, 05 Februari 2012

Ikhwanul Muslimin dan Partai Politik (1)

Ikhwanul Muslimin dan Partai Politik (1)

28/5/2009 | 4 Jumada al-Thanni 1430 H | 3.122 views
Oleh: Abduh Musthafa Dasuki
Kirim Print
gambar-ikhwanPenerjemah:
Abu Ahmad
_______
Sejak imam Syahid memulai dakwahnya untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali kemuliaan Islam dan membentuk jamaah Ikhwanul Muslim dengan mengajak umat Islam kepada ajaran Islam yang sebenarnya; ajaran yang komprehensif dan integral, dan ajaran yang menjamin dan mencakup nilai-nilai perbaikan secara keseluruhan.
Namun, ketika imam Al-Banna memulai dakwahnya, yang terlebih dahulu dilakukan adalah memberikan pengenalan kepada masyarakan akan dakwah yang dibawanya, memberikan pemahaman Islam yang komprehensif dan integral, mentarbiyah mereka atas ajaran Islam yang kaffah, membentuk batu bata yang kuat dari setiap orang yang memahami Islam dengan pemahaman yang benar, membentuk sosok yang mampu mengajak orang lain kepadanya, dan siap berkorban dengan sesuatu yang paling berharga dan mahal sekalipun untuk menyampaikan dakwah dan mentarbiyah masyarakat kepadanya.
Dan imam Al-Banna telah melakukan itu semua sejak awal dimulainya dakwah, dengan memfokuskan diri pada pemberian pengenalan kepada masyarakat tentang Islam yang komprehensif dan tentang kerja yang sesuai dan cocok di tengah kalangan masyarakat; yaitu perbaikan sosial, sambil berusaha dengan semampunya menghindarkan diri dari kancah politik yang licik dan keji seperti yang dikenal pada saat itu; sehingga jamaah yang dibawanya, tidak menjadi jamaah politik belaka seperti partai-partai lainnya, dan sehingga tidak membuat masyarakat lari dan menghindar karenanya atau phobi terhadapnya, beliau berkata pada sebuah makalah yang berjudul: “Fi sabilin Nuhudh (Jalan menuju kebangkitan)”: “Wajib hukumnya menjadikan tarbiyah sebagai pondasi sebuah kebangkitan”. Yaitu dengan terlebih dahulu mentarbiyah umat dan memberikan pemahaman akan hak-haknya secara lengkap, memberikan pengajaran bagaimana caranya untuk mencapai hak-hak tersebut, mentarbiyahnya dengan iman yang kuat, mematri jiwanya dengan keimanan yang kokoh, atau dengan kata lain memberikan pelajaran tentang kebangkitan secara teori, praktek dan spiritual.
Demikianlah cikal bakal dan yang menjadi perhatian utama awal didirikannya jamaah Ikhwanul Muslimin  yaitu mentarbiyah umat, sehingga dengan manhaj tersebut membuat sebagian pemerhati untuk mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin memulai dakwahnya pada agama, dan ketika bertambah pengikutnya dan menjadi kuat, maka serta merta berubah menjadi jamaah politik.
Hakikatnya, Dakwah Ikhwanul Muslimin sejak awal di dirikannya tidak memisahkan dan tidak membedakan antara agama dan politik, yaitu sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya; yaitu mengajak umat kepada Islam dengan pemahaman yang komprehensif dengan memfokuskan diri  pada sisi perbaikan sosial dan tidak langsung masuk pada persoalan politik sesuai dengan konsep yang telah dirancang dan ditetapkan, bukan karena tidak memiliki wawasan dan wacana tentang politik dari dakwah Ikhwanul Muslimin. Dan dari sini dapat ditetapkan bahwa politik yang dilakukan oleh Ikhwanul Muslimin hingga hari ini adalah melakukan kontribusi dalam kerja dengan partai-partai yang berkuasa, seperti yang pernah diungkapan oleh Imam Syahid pada muktamar thullabi bulan Februari tahun 1938, yang membantah tuduhan bahwa dakwah Ikhwan adalah batil, dan menyampaikan bahwa makna politik yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin adalah: “Memiliki perhatian pada berbagai urusan umat, baik internal dan eksternal”. Dan menyampaikan akan makna Islam secara komprehensif dengan berdasarkan bahwa Islam adalah “Aqidah dan ibadah, negara dan kewarga negaraan, toleransi dan kekuatan, akhlaq dan materi, tsaqafah dan undang-undang” dan beliau juga berkata bahwa seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali harus menjadi politikus dengan memiliki pandangan luas dalam berbagai urusan umatnya, memiliki perhatian dan kecemburuan atasnya. Kemudian beliau juga berkata: “Biarkan kami saya wahai Ikhwah sekalian untuk menyampaikan sedikit dari ketentuan makna ini, yang kadang tampak asing bagi suatu umat yang telah terbiasa telinganya mendengar adanya pemisahan antara Islam dan politik, dan yang dituduhkan oleh sebagian manusia dengan berkata –setelah bubar dari acara ini- bahwa jamaah Ikhwanul Muslimin telah meninggalkan prinsip-prinsipnya dan keluar dari haluannya dan telah menjadi jamaah siyasiyah (politik) setelah sebelumnya sebagai jamaah diniyah (keagamaan), kemudian ada yang berpandangan -pada satu sisi- dengan memberikan tafsiran dan interpretasi bahwa sebab terjadinya perubahan tersebut adalah karena perbedaan dalam berbagai pandangannya. Saya sampaikan wahai para hadirin, bahwa Ikhwanul Muslimin sebelumnya bukanlah sebagai jamaah politik dan anggota ikhwan bukanlah politikus, dan selamanya tidak akan menjadi politikus, namun selamanya tidak akan memisahkan antara politik dan agama.
Ikhwanul Muslimin dan Partai Politik
Hal ini mengarahkan kita akan pentingnya dan urgensinya tentang penjelasan sikap Ikhwanul Muslimin terhadap politik, oleh karena sejak awal berdirinya Ikhwan dan sesuai dengan  sejarah perjalanannya telah banyak melakukan penentangan terhadap berbagai partai politik. Dan pada prinsipnya Ikhwanul Muslimin menolak untuk berpolitik dan melakukan politik praktis. Namun karena realita perpolitikan yang terjadi telah memecah belah rakyat Mesir dan tidak berusaha menjadi sebagai sarana dalam memerangi kolonialisme dan corong dalam menuntut kemerdekaan secara penuh namun hanya dalam lingkup berjuang untuk menduduki jabatan dan memangku berbagai jabatan kementerian, tidak berusaha menjadi sarana dalam mewujudkan kemaslahatan bangsa dan  negara dengan berbagai tugas dan tanggungjawabnya, jika berada dalam posisi kementerian ada kemudahan, dan jika di luar pemerintahan maka menjadi keras.
Dan partai penguasa pada saat itu adalah partai “El-Wafd” kemudian partai Al-Ahrar ad-dustrui, adapun “Al-hizb al-wathani” (partai nasional) adalah pecahan dari partai “El-Wafd” telah beralih kepemimpinannya menjadi harakah wathaniyah. Adapun partai al-ittihad dan As-Sya’b merupakan partainya raja dan penguasa.
Bahwa partai-partai yang tumbuh saat itu berada di bawah naungan penjajahan dan menjadi perpanjangan tangan untuk kepentingannya; sehingga menjadi sebab terjadinya perpecahan di tubuh umat, timbul peperangan di antara mereka dalam suatu hukum dan menafikan permasalahan umat.
Sebagaimana partai pada saati itu juga tumbuh menjadi perpanjangan tangan penjajah dalam melawan partai nasional yang didirikan oleh Mustafa Kamil yang mampu membuat pusing dan resah penjajah Inggris saat itu, dimana melalui media masa pada tanggal 19 Maret tahun 1907, dan pada September pada tahun yang sama telah berubah menjadi partai politik yaitu partai Al-Ummah, dan partai ini terbentuk pada dua unsur; para cendekiawan yang memiliki pandangan dan wawasan kebarat-baratan dalam berbagai sisi, dan selalu mengajak untuk menjauhi tsawabit al-ummah yang telah ditetapkan atasnya; mereka adalah Ahmad Lutfi As-sayid, Musthafa Abdul Raziq, Muhammad Husain Haekal, Toha Husain dan lain-lainnya.
Dan unsur kedua adalah berasal dari jamaah Al-Basyawat dan pembesar dari kalangan orang-orang kaya, seperti Mahmud Sulaiman Pasya, Hasan Pasya Abdul Raziq, Hamad Bek Al-Bashil, Fakhri Abdul Nur, Sulaiman Abazhah, Abdul Rahim Ad-Damardasy, Ali Sya’rawi, Abdul Khaliq Tharwat. Partai tersebut di pimpin oleh Mahmud Sulaiman, dan menjabat sebagai anggota majlis syura, dan sebagai salah satu para pembesar dari kalangan hartawan pedesaan, sementara wakilnya adalah Hasan Abdul Raziq, dan kemudian diganti setelahnya oleh Ali Sya’rawi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, partai tersebut telah berubah dan pada saat itu pula, Lord Kromer dalam keputusan yang disampaikan kepada menteri-menterinya mengatakan bahwa anggota partai tersebut hanyalah formalitas dari kelompok Islam.
Pada saat itu, Mustafa Kamil menuliskan surat untuk Muhammad Farid pada tanggal 27 Desember 1907 tentang munculnya partai Al-Ummah dari orang-orang yang memiliki kecenderungan pada kerja sama dengan para penjajah sesuai dengan apa yang dinamakan dengan politik lemah lembut dan bertahap.
Dan pada media masa ditulis seperti yang disampaikan oleh anggota dari partai Al-Ummah: “Bahwa Mesir menginginkan adanya kemerdekaan sekalipun jalan menuju hal tersebut tidak mudah, sehingga harus ada yang menjadi penguasa dari umat lainnya, karena itu Inggris adalah sebaik-baik umat yang diinginkan oleh Mesir”.
Namun tidak hanya partai Al-Ummah yang berada pada bentuk ini, partai Al-Wafd yang didirikan oleh Sa’ad Zaghlul tahun 1918, walaupun telah terjadi perpecahan di dalam tubuh partai tersebut; oleh karena adanya perselisihan di antara para pemimpinnya, yang dipicu akibat adanya perselisihan individu antara Sa’ad Zaghlul dan Adli Yakan pada siapa yang berhak menjadi pimpinan utusan perundingan; dimana Adli merasa berhak menjadi pimpinannya; karena dirinya adalah pemimpin pemerintahan saat itu, namun Saad memandang bahwa beliau adalah yang berhak untuk itu karena dirinya menjabat sebagai wakil rakyat.
Sebelumnya Mesir mencoba melakukan dialog yang diadakan pada bulan Juli dan Agustus 1920 yang belum mengarah pada tuntutan kemerdekaan; bahwa telah disepakati perjanjian proyek “Milner” yang menetapkan adanya penjajahan dan memisahkan Sudan dari Mesir.
Dan pada presentasi tentang urusan partisipasi dalam negosiasi di tubuh partai Al-Wafd pada hari Kamis, 28 April 1921, sebagian besar memandang untuk tidak berpartisipasi dalam negosiasi bersamaan dengan adanya serangan ke kementerian, dan pada itu Saad Zaghloul merancang pernyataan  mosi tidak percaya pada pihak kementerian, lalu beliau memecat Ali Sha’rawi Pasha yang ditentang oleh masing-masing anggota seperti Mohammad Mahmoud, Hamad Al-Basil, Abdul Latif Al-Mukibbati, Ahmad Lutfi As-Sayyid, Mohamed Ali Allouba; dan memberikan pernyataan untuk tidak mengabaikan pendapat Saad Zaghloul terhadap pendapat mayoritas dan tidak mengubah permasalahan Mesir menjadi permasalahan pribadi; yang mana pihak kementerian merespon terhadap semua permintaan, kecuali tuntutan pada syarat pimpinan yang tidak bisa didahulukan dan diakhirkan sedikit pun untuk kelancaran perjalanan negosiasi, dan apa yang belum didukung oleh mayoritas dengan mengacuhkan pendapat mayoritas sebelumnya. Dan pada itulah  Saad menyebutnya dengan bentuk dissidents.
Dan  setelah berjalan satu tahun, dan Saad masih menyebut  masing-masing yang bertentangan dengan pendapatnya dengan dissidents, yang mana di dalamnya tergabung dari anggota partai Al-Wafd seperti Abdel-Aziz Fahmi, Hafez Afifi, dan Abdul Khaliq Madkur, George Khayyat, dan tidak ada yang mendukung  Saad kecuali Mustafa An-Nuhas, Washif Boutros-Ghali, Senyot Hanna, dan Wisseh Asif, dan Ali Maher.
Dan pada tahun 1922 mereka yang disebut dengan dissidents melakukan manuver dengan mendirikan partai “Al-Ahrar Ad-dusturiyun” dan sejak awal pendiriannya partai ini memiliki tabiat permusuhan terhadap partai Al-Wafd dan Saad, dan pembentukannya berhasil dilakukan dengan bantuan Abdul Khaliq Tharwat yang menjabat Perdana Menteri saat itu, dan Abdul Khaliq Tharwat akhirnya diangkat menjadi pemimpin partai di bawah tekanan para dissidents, namun partai ini tidak mengagendakan diri tentang tuntutan hengkangnya Inggris dari Mesir sebagai bagian inti dari kemerdekaan negara, namun meletakkan dasar-dasar yang berbentuk interaksi dan kerja sama dengan pihak Inggris yang dibangun atas dasar kemudahan dengan alasan toleransi dan kesopanan, dan partai ini tidak bersandarkan pada kekuasaan penuh sehingga hanya menjadi alat kepanjangan tangan Inggris.
Pada Januari 1925 didirikan partai Al-Ittihad, yang sejak awal pendiriannya memiliki agenda dan propaganda kesetiaan kepada takhta.
Pada tanggal 17 November 1930 lembaga pendiri partai mengumumkan pendirian partai  baru yang dinamakan dengan partai As-Sya’b, yang dipimpin oleh Ismail Pasha Sidki Pasha, dan menerbitkan surat kabar harian yang dinamakan dengan “As-Sya’b” dan diantara dasar pendirian partai tersebut adalah “mendukung rezim konstitusional dan mempertahankan kekuasaan negara dan hak-hak atas takhta.”
Pada realita nampak oleh kita semua, bahwa partai-partai yang ada pada saat itu terbentuk karena adanya perselsihan dan tidak mengarah pada usaha menggalang persatuan, dan hal ini mendorong imam Al-Banna untuk memerangi partai-partai yang pragmatis, beliau berkata dalam risalah dakwatuna: “Jika yang mereka menginginkan adalah nasionalisme dengan menjadikan bangsa pada kelompok-kelompok yang saling serang, saling mendengki, saling mencela, saling melempar tuduhan, saling menipu dan saling memperdaya satu sama lainnya, fanatik dan mendukung sistem-sistem konvensional yang cenderung pada hawa nafsu, dan dibentuk pada misi dan tujuan tertentu, dan diinterpretasikan hanya untuk  kepentingan pribadi belaka, dan sehingga musuh mengambil banyak keuntungan untuk kemaslahatannya sendiri, dan bahkan menambah api perpecahan secara membabi buta, memecah belah mereka dalam kebenaran dan menyatukan mereka pada kebatilan, bahkan saling mengharamkan atas mereka untuk menjalin komunikasi satu sama lain, saling bergotong royong sebagian mereka dengan yang lainnya, menghalalkan kepada mereka hubungan dengannya dan acuh  kepada yang lainnya, dan tidak itikad yang baik kepada yang lain kecuali pada satu permasalahan tersebut, dan tidak bersatu kecuali dalam lingkup golongan dan kelompoknya sendiri; semua hal tersebut adalah sebuah patriotisme dan nasionalisme palsu yang tidak memiliki kebaikan sedikit pun bagi penyerunya maupun untuk masyarakatnya.
Maka dari itu, Anda dapat melihat bahwa kami adalah para penyeru nasionalisme, tetapi terhadap para penyimpang dalam berbagai nilai-nilai kebaikan yang kembali pada kebaikan terhadap manusia dan negerinya, dan Anda telah melihat bahwa hal tersebut adalah seruan nasionalisme yang panjang dan membentang luas, dan tidak akan keluar sebagai bagian dari ajaran Islam”.
Beliau juga mengatakan dalam Risalah muktamar thalabah Ikhwan: “Saya yakin- wahai saudara-saudara, bahwa partai politik jika dalam keadaan tertentu diperbolehkan pada sebagian negara, maka boleh jadi tidak diperbolehkan pada  negara lainnya, yaitu tidak boleh di Mesir selamanya, terutama pada saat terbukanya era baru. Dan -melalui ini- kami ingin membangun bangsa yang kuat dengan mengoptimalkan upaya pembangunan kerjasama, ketersediaan potensi, memfungsikan berbagai keahlian, stabilitas yang sempurna, dan perhatian penuh terhadap aspek perbaikan ..
Bahwa platform reformasi internal kami merupakan manhaj yang sangat lengkap dan begitu luas, sehingga kita harus mengerahkan seluruh potensi dan daya upaya untuk mewujudkannya, demi untuk menyelamatkan bangsa yang penuh vitalitas ini, bangsa yang memiliki aktivitas yang besar, siap dengan berbagai sarana kemajuan, yang ke semua itu tidak bisa dilakukan kecuali oleh pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang baik dan arahan yang benar; sehingga mampu memberikan pembentukan yang terbaik, menghilangkan kerentanan, kemiskinan, kebodohan dan kehinaan, sebagai bagian dari bentuk kehancuran dan penghalang berbagai bentuk kebangkitan, dan tentunya disini bukan tempat yang cocok untuk merinci manhaj ini, karena hal tersebut membutuhkan waktu panjang dan suasana yang berbeda, dan saya menyadari bahwa kita semua merasakan beban tuntutan era baru ini, dan membutuhkan pengerahan potensi yang besar yang mengharuskan adanya pengorbanan dalam menyatukan organisasi internal dalam semua aspek kehidupan”.
Inilah pandangan Ikhwanul Muslimin  terhadap partai dan sistem kepartaian, adapun sikap Ikhwanul Muslimin terhadap pemerintahan yang telah dikenakan pada rakyat untuk memilih raja sabagai perdana menteri dan pemeritahan yang terbentuk secara otomatis bersamanya, memiliki pandangan dan sikap yang berbeda. Pada saat itu, posisi Ikhwanul Muslimin sebagai pemberi nasihat yang tepercaya terhadap berbagai pemerintahan yang berbeda, dan mereka tidak selalu membantah dan menentang terhadap sistem suatu pemerintah yang berkuasa; bahkan kadang kala mereka tidak segan mendukung atau menjadi oposisi dalam menyikapi pemerintah karena kedekatan dan jauhnya pemerintah terhadap Islam. Dan Ikhwanul Muslimin pada saat itu menuntut pemerintahan yang ada untuk melakukan perbaikan sosial dan ekonomi serta politik. Karena itu pada era pemerintahan Nasim Pasha, disaat melakukan pembentukan tim peninjau sistem pemerintahan; mereka hadir untuk memberikan penjelasan, mengumpulkan para delegasi untuk memberikan perbaikan dan pengajaran secara umum, dan pendidikan agama secara khusus. Dan insya Allah akan dibahas pada tema khusus “Al-Ikhwan dan Ta’lim”
Dan ketika Menteri Ali Maher datang, dan merancang beberapa langkah dan rancangan reformasi, Imam  syahid membuat tulisan yang mendukung reformasi tersebut, yaitu dalam sebuah artikel yang berjudul “Khotowat Muwaffaqoh (langkah sukses)”, dan di dalamnya beliau berkata: “Bukanlah suatu kebiasaan dari koran ini dan bukan pula sebagai sunnah (kebiasaan) Ikhwanul Muslimin untuk memberikan secara khusus kepada seseorang akan ucapan terima kasih, atau tenggelam dalam memberikan pujian dan penghargaan; karena mereka berkeyakinan bahwa di leher setiap orang pada tubuh umat yang mulia ini dan negara yang tepercaya ini memiliki kewajiban yang sangat besar, sekalipun bersungguh-sungguh menunaikannya maka masih akan terus ada di hadapannya tugas yang lebih besar dari apa yang dilihatnya..
Dan Ikhwanul Muslimin selalu meletakkan kerajanya yang  sederhana ini di hadapan setiap lembaga yang bekerja untuk kebaikan negeri yang mulia ini, yang tidak berharap apa-apa dibalik pekerjaan yang dilakukan kecuali hanya menunaikan sebagian kewajiban mereka dalam melakukan reformasi secara umum. Terima kasih wahai pemimpin besar negara, dan terima kasih kepada imam Al-Banna.
Demikianlah sikap Ikhwanul Muslimin terhadap sistem kepartaian, dan alasan-alasan yang menyebabkan mereka menolak partai pada periode awal, di samping adanya mekanisme dalam berinteraksi dengan pemerintah yang telah memberi hukuman kepada Ikhwanul Muslimin.
Pada bagian berikutnya, kita akan membahas tentang sikap para menteri yang se zaman dengan imam Al-Banna, baik perdana menteri An-Nuhas Pasha, atau Mohamed Mahmoud Pasha, atau Hussein Sri Pasha; guna dapat mengenal penerimaan Ikhwan terhadap suatu pemerintahan negara, dan alasan-alasan yang membuat Ikhwan dekat dengan pemerintahan atau jauh darinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar