Mutiara Kehidupan Para Tabi’in: Iyas bin Mu’awiyyah Al-Muzanni
7/3/2006 | 7 Safar 1427 H | 3.035 views
Oleh: Al-Ikhwan.net Pada suatu hari khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak dapat tidur, karena memikirkan siapa qadhi al-qudhat (hakim tertinggi) untuk kota Bashrah. Akhirnya pilihannya jatuh kepada seorang ‘ALIM ADZ-DZAKIY (‘alim yang jenius) yang bernama Iyas bin Mu’awiyyah al-Muzanni.Iyas lahir di Nejd (daerah utara Saudi Arabia) tahun 46-H, lalu ia pindah dan dibesarkan di Bashrah dan kemudian belajar pada para tokoh sahabat dan tabi’in terkemuka di kota itu. Iyas dari kecil dikaruniai akal yang brillian dan cerdas, sehingga sering mengalahkan para guru-gurunya.
Suatu hari ia belajar ilmu matematika kepada seorang Yahudi ahlu-dzimmah (orang-orang kafir yang takluk pada pemerintahan Islam), segera dapat dikuasainya ilmu tersebut. Suatu saat Yahudi itu bertanya kepada remaja Iyas ini (untuk menguji dan meremehkan agamanya), katanya : “Orang Islam itu menganggap bahwa mereka akan masuk Jannah dan makan minum sepuasnya disana, tapi kata mereka tidak akan buang air besar dan kecil, apakah itu masuk akal?” Lalu Iyas balik bertanya : “Apakah semua makanan yang dimakan dan diminum itu harus dikeluarkan semuanya melalui anus?” Jawab Yahudi itu : “Tentu saja tidak.” Tanya Iyas lagi : “Lalu kemana perginya?” Jawab Yahudi itu : “Ada yang membentuk badan, ada yang berupa keringat, dll.” Lalu kata Iyas : “Lalu apa herannya jika ALLAH SWT mengeluarkan semuanya tidak melalui anus, bukankah sudah diberi contohnya di dunia pada manusia (dalam bentuk keringat, dll itu)?” Jawab Yahudi itu : “Mampuslah kau!”
Kecerdasan remaja Iyas ini memang luarbiasa, pernah suatu ketika ia melihat empat orang qurra’ (ahli membaca al-Qur’an) yang berjanggut lebat dengan jubah hijau sedang berjalan, maka Iyas ingin menguji ilmu keagamaan mereka, maka ia berjalan didepan keempatnya. Ternyata keempat orang itu marah besar dan menghardiknya : “Kurang ajar kau! Berapa umurmu?!” Maka jawab Iyas tenang : “Umurku?! Sama dengan umur Usamah bin Zaid ra (17 tahun) ketika diangkat menjadi panglima perang oleh RasuluLLAH SAW membawahi para tokoh-tokoh sahabat senior seperti Abubakar ra dan Umar ra.” Maka muka keempat orang itu berubah menjadi merah karena malu.
Pernah sahabat Anas bin Malik ra suatu ketika di awal Ramadhan berkumpul dengan kaum muslimin untuk melihat adanya hilal (bulan baru) untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan. Semua tokoh senior (para syaikh) berdiri di dekat Anas ra, dan tiba-tiba Anas ra berkata : “Aku melihat ada hilal yang sangat tipis di langit.” Maka seluruh kaum muslimin yang hadir memicingkan dan menajamkan matanya ke arah pandangan mata Anas ra, untuk melihat di ufuk, tapi tidak seorangpun yang melihat hilal, tapi Anas ra bersikeras bahwa ia melihat hilal tersebut. Ketika kaum muslimin semua kembali menatap ke ufuk dan berusaha keras melihat apa yang dikatakan Anas ra, Iyas memandangi wajah tua Anas ra lekat-lekat, dilihatnya semua rambut, alis dan janggutnya telah memutih. Maka Iyas mendekati muka Anas dan berkata : “Afwan wahai sahabat rasuluLLAH…” sambil memindahkan sebuah bulu-mata Anas yang panjang dan berwarna putih dari matanya. Lalu Iyas berkata lagi : “Apakah syaikh masih melihat hilal itu?” Maka jawab Anas ra : “Tidak.”
Kecerdasan pemuda ini memang luar biasa, ia sering merenungkan tentang berbagai hal dan ilmu pengetahuan. Pada suatu hari ia ditanya oleh seseorang : “Mengapa khamr itu haram? Padahal ia dibuat dari kurma dan air yang kesemuanya adalah halal dan lalu dimasak.” Jawab Iyas : “Kalau kulempar badanmu dengan air apakah kau sakit?” Jawab orang itu : “Tidak.” Kata Iyas : “Kalau kulempar badanmu dengan tanah sakit tidak?” Jawab orang itu : “Tidak.” Kata Iyas lagi : “Jika kulempar badanmu dengan pasir?” Kata orang itu lagi : “Tidak sakit.” Maka kata Iyas lagi : “Jika kuramu ketiganya lalu setelah jadi (batu-bata) lalu kulemparkan ke badanmu bagaimana?” Jawab orang itu lagi : “Bahkan bisa membunuhku!” Maka kata Iyas : “Demikianlah.”
Dalam kesempatan yang lain, ketika ia menjadi qadhi’ terdapat seorang yang terkenal wara’ (sangat berhati-hati pada hal-hal yang haram), sehingga orang-orang sering menitipkan barang atau uang atau wasiat orang yang meninggal dan bepergian padanya. Ternyata suatu waktu orang tersebut berkhianat sehingga dilaporkan kepada Iyas. Maka kata Iyas kepada pelapornya : “Besok anda kesini.” Lalu Iyas mendatangi rumah sang pengkhianat itu dan berkata : “Lusa engkau ke rumahku ya, aku akan menitipkan sesuatu yang berharga kepadamu.” Lalu keesokan harinya, ketika orang yang ditipu itu datang pada Iyas, kata Iyas : “Datanglah pada penipu itu dan bilang padanya, kalau dia tetap bilang tidak tahu, maka ia akan dilaporkan pada Iyas.” Karena penipu tersebut takut dilaporkan pada Iyas, sedangkan ia diminta datang pada Iyas keesokan harinya untuk menerima titipannya, maka ia mengembalikan harta titipan orang yang ditipunya, sambil berkata : “Jangan kau katakan pada qadhi (Iyas).” Maka keesokan harinya Iyas menemuinya dan berkata : “Aku menitipkan kepadamu sesuatu yang sangat berharga yaitu (QS Al-Anfaal:27).” Maka orang itu gemetar dan mengakui perbuatannya, maka ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lalu iapun dihukum.
Iyas pernah tersalah kepada seseorang, yaitu ketika ia bertanya kepada seorang pemilik kebun untuk mengujinya, kata Iyas : “Berapa banyak pohon di kebunmu ini?” Maka jawab orang itu : “Aku tidak tahu.” Maka kata Iyas : “Lalu bagaimana mungkin kamu memiliki kebunmu ini padahal kamu sudah sekian lama memilikinya?” Maka jawab orang itu : “Kalau demikian maka berapa jumlah atap di ruang sidang qadhi?” Jawab Iyas : “Tidak tahu.” Maka kata orang itu : “Lalu bagaimana saya percaya anda sebagai qadhi, tapi anda tidak tahu jumlah atap di ruang kerja anda setelah bekerja sekian lama.” Maka Iyas membenarkan perkataan orang itu.
Pada usianya yang ke-76 tahun, malamnya Iyas bermimpi berkuda bersama-sama ayahnya dan berjalan seiring (tidak saling mendahului) dan ayahnya wafat pada usia 76 tahun. Lalu Iyas berkata pada keluarganya : “Tepat malam ini ayahku menyempurnakan usianya yang ke-76 th.” Jawab keluarganya : “Ya, benar.” Keesokan harinya keluarganya menemukan Iyas telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan senyum di bibirnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar