Minggu, 05 Februari 2012

Perspektif Ats-Tsiqah Yang Diinginkan Atas Setiap Ikhwah

Perspektif Ats-Tsiqah Yang Diinginkan Atas Setiap Ikhwah

18/6/2009 | 24 Jumada al-Thanni 1430 H | 3.903 views
Oleh: Muhamad Abdul Halim Hamid
Kirim Print
Ats-Tsiqah
Imam Syahid berkata: Yang saya maksud dengan tsiqah adalah rasa puasnya seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan keikhlasan; dengan kepuasan mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan. Allah SWT berfirman:
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa:65)
Pemimpin adalah bagian dari dakwah. Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin, menjadi penentu kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya mengatasi berbagai kendala yang menghadangnya.
طاعة وقول معروف ….
“Maka lebih utama bagi mereka ketaatan dan perkataan yang baik” (Muhammad: 21).
Kepemimpinan –dalam dakwah Ikhwan—memiliki hak sebagaimana orang tua dalam hubungan batin; seorang guru dalam fungsi pengajaran ilmu; seorang syeikh dalam pendidikan rohani; dan pemimpin dalam menentukan kebijakan politik secara umum bagi dakwah. Dakwah kita menghimpun nilai-nilai tersebut secara keseluruhan.
Musuh-musuh Islam menyadari sepenuhnya bahwa Islam adalah musuh terbesar. Sejarah masa silam dan realitas modern telah mengajarkan kepada mereka bahwa bila umat kita telah menemukan jalan yang benar menuju Islam, maka kekuasaan mereka terancam runtuh dan lenyap. Mereka tidak takut kepada Islam yang “lunak” yang tidak memiliki kekuatan, tetapi mereka takut pada Islam dalam bentuk gerakan jihad yang mengkonsolidasikan seluruh kekuatan kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka untuk menghadapi musuhnya.
Wahai Ikhwan, karena dakwah kalian merupakan kekuatan aqidah dan pergerakan besar melawan musuh-musuh Islam dan menggagalkan berbagai rencana lawan, maka wajar kalau mereka mengerahkan segala senjata dan kemampuan untuk menghadapi dakwah kalian. Bahkan, tidak ada satupun cara kecuali mereka manfaatkan untuk memerangi dan memberangus dakwah kalian.
Cara paling berbahaya untuk musuh yang licik adalah upaya menimbulkan friksi internal di dalam dakwah, sehingga mereka dapat memenangkan pertarungan karena kekuatan dakwah melemah akibat terpecah belah. Dan hal yang paling efektif menimbulkan friksi internal dalam dakwah adalah hilangnya tsiqah (kepercayaan) antara prajurit dan pimpinan. Sebab, bila prajurit sudah tidak memiliki kepercayaan pada pimpinannya, maka makna ketaatan akan segera terguncang dalam jiwa mereka. Bila ketaatan sudah hilang, makan tidak mungkin ada eksistensi kepemimpinan dan karenanya pula tidak mungkin jamaah dapat eksis.
Oleh karena itulah, Imam Syahid menekankan rukun tsiqah dalam “risalah ta’lim” dan menjadikannya sebagai salah satu rukun baiat. Ia menjelaskan urgensi rukun ini dalam menjaga soliditas dan kesatuan jamaah. Ia mengatakan: “… Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan timbal balik pemimpin dan yang dipimpin, menjadi penentu kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya mengatasi berbagai kendala yang menghadangnya.“Maka lebih utama bagi mereka ketaatan dan perkataan yang baik” (Muhammad: 21). Dan tsiqah terhadap pemimpin merupakan segala-galanya bagi keberhasilan dakwah”
Kita tidak mensyaratkan bahwa yang berhak mendapat tsiqah kita adalah pemimpin yang berkapasitas sebagai seorang yang paling kuat, paling bertaqwa, paling mengerti dan paling fasih dalam berbicara. Syarat seperti ini hampir sulit dipenuhi, bahkan hampir tidak terpenuhi sepeninggal Rasulullah SAW. Cukuplah seorang pemimpin itu, seorang yang dianggap mampu oleh saudara-saudaranya untuk memikul amanah (kepemimpinan) yang berat ini. Kemudian apabila ada seorang ikhwah (saudara) yang merasa bahwa dirinya atau mengetahui orang lain memiliki kemampuan dan bakat yang tidak dimiliki oleh pemimpinnya, maka hendaknya ia mendermakan kemampuan dan bakat tersebut untuk dipergunakan oleh pemimpin, agar dapat membantu tugas-tugas kepemimpinan. Bukan menjadi pesaing bagi pimpinan dan jamaahnya.
Saudaraku, mungkin engkau masih ingat dialog yang terjadi antara Abu Bakar ra. Dan Umar ra. Sepeninggal Rasulullah saw. Umar ra. Berkata: “ulurkanlah tanganmu! Aku akan membaiatmu” Abu Bakar berkata: “Akulah yang membaiatmu” Umar berkata: “kamu lebih utama daripada aku” Abu Bakar berkata: “kamu lebih kuat daripada aku” Setelah itu, Umar berkata: “kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu” Dan Umar ra. benar-benar menjadi kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar ra.
Saat seorang bertanya kepada Imam Syahid, “bagaimana bila suatu kondisi menghalangi kebersamaanmu dengan kami? Menurutmu siapakah orang yang akan kami angkat sebagai pemimpin kami?” Imam Syahid menjawab: “Wahai Ikhwan, angkatlah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah ia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian”
Wahai Ikhwan, mungkin kalian masih ingat perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dalam menyikapi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Sebagian besar sahabat berpendapat seperti pendapat Umar, yaitu tidak memerangi mereka. Meski demikian, ketika Umar mengetahui bahwa Abu Bakar bersikeras untuk memerangi mereka, maka ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal, yang menggambarkan ketsiqahan yang sempurna, “Demi Allah, tidak ada hal lain yang aku pahami kecuali Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (mereka). Karena itu, aku tahu bahwa dialah yang benar”
Andai Umar ra. Tidak memiliki ketsiqahan dan ketaatan yang sempurna, maka jiwanya akan dapat memperdayakannya. Memperdaya bahwa dialah yang merasa benar, apalagi ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Allah swt. telah menjadikan al-haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”
Alangkah butuhnya kita pada sikap seperti Umar ra., saat terjadi perbedaan pendapat di antara kita, terutama untuk ukuran model kita yang tidak mendengar Rasulullah saw. memberikan rekomendasi kepada salah seorang di antara kita, bahwa kebenaran itu pada lisan dan hatinya.
Mengingat sangat pentingnya ketsiqahan terhadap fikrah dan ketetapan pimpinan, maka musuh-musuh Islam berusaha sekuat tenaga untuk menimbulkan keraguan-keraguan pada Islam, jamaah, manhaj jamaah dan pimpinannya. Dan, betapa banyak serangan yang dilancarkan untuk misi tersebut. Oleh karena itu, seorang aktivis jangan sampai terpengaruh oleh serangan-serangan tersebut. Ia harus yakin bahwa agamanya adalah agama yang hak, yang diterima Allah swt. Ia harus yakin bahwa Islam adalah manhaj yang sempurna bagi seluruh urusan dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Ia harus tetap tsiqah bahwa jamaahnya berada di jalan yang benar dan selalu memperhatikan Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap langkah dan sarannya. Ia harus tetap tsiqah bahwa pimpinannya selalu bercermin pada langkah Rasulullah saw. serta para sahabatnya dan selalu tunduk pada syariat Allah dalam menangani persoalan yang muncul saat beraktivitas serta selalu memperhatikan kemaslahatan dakwah.
Apabila seorang aktivis mendengar sesuatu atau ragu-ragu tentang sesuatu, maka jangan dibiarkan berlarut. Tetapi harus segera tabayun (re-check) terhadap hakikat yang sebenarnya, sehingga dadanya tetap bersih dari buruk sangka dan ke-tsiqah-annya tetap terjaga. Dengan demikian ia telah memenuhi seruan Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman:
يا أيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujarat:6)
Allah swt. Menegur segolongan orang yang melakukan kesalahan dalam firman-Nya:
وإذا جاءهم أمر من الأمن أو الخوف أذاعوا به ولو ردوه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم لعلمه الذين يستنبطونه منهم ولولا فضل الله عليكم ورحمته لاتبعتم الشيطان إلا قليلا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An Nisa:83)
Kami mengingatkan bahwa terkadang sebagian surat kabar atau media massa lainnya mengutip pembicaraan atau pendapat yang dilakukan para pimpinan jamaah, dengan tujuan untuk menimbulkan keraguan-raguan, menggoncangkan kepercayaan, dan menciptakan ketidakstabilan di dalam tubuh jamaah.
Oleh karena itu, seorang aktivis muslim tidak diperbolehkan menyimpulkan suatu hukum berdasarkan apa yang dibaca dalam media massa. Tidak boleh melunturkan tsiqah-nya dan tidak boleh menyebarkan atas dasar pembenaran. Ia harus melakukan tabayyun terlebih dahulu.
Berkenaan dengan rukun tsiqah ini, Imam Syahid berkata:  “Sesungguhnya, tsiqah kepada pimpinan merupakan segala-galanya bagi keberhasilan dakwah. Karenanya, aktivis yang tulus harus mengutarakan beberapa pertanyaan berikut kepada diri sendiri, untuk mengetahui sejauh mana ke-tsiqah-an dirinya pada pimpinannya:
1. Sudahkah mengenal pemimpin dan mempelajari kondisi kehidupannya?
2. Percayakan pada kemampuan dan keikhlasannya?
3. Siapkah menganggap seluruh perintah yang diberikan pemimpin untuknya –tentunya yang tidak bernilai maksiat- sebagai instruksi yang harus dilaksanakan tanpa reserve, tanpa ragu, tanpa mengurangi dan memberi komentar dengan disertai pengutaraan nasihat dan masukan untuk mencapai kebenaran?
4. Siapkah menganggap dirinya salah dan pemimpinnya benar, jika terjadi pertentangan antara sikap pemimpin dan apa yang ia ketahui dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada teks tegasnya dalam syariat.
5. Siapkah meletakkan seluruh aktivitas kehidupannya dalam kendali dakwah? Apakah dalam pandangannya pemimpin memiliki hak untuk men-tarjih (menimbang dan memutuskan yang terkuat) antara kepentingan pribadi dan kepentingan dakwah secara umum?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang semisalnya, aktivis yang tulus dapat memastikan sejauh mana hubungan tsiqah/kepercayaan terhadap pemimpin. Adapun hati, ia berada dalam genggaman Allah. Dia yang menggerakkan hati sekehendak-Nya.
لو أنفقت ما في الأرض جميعا ما ألفت بين قلوبهم ولكن الله ألف بينهم إنه عزيز حكيم
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Anfal:63)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar