Al-Ma’tsurat Dha’if? (Bagian II)
16/8/2007 | 3 Shaban 1428 H | 5.907 views
Oleh: Aba AbduLLAAH AlhamduliLLAAHi wash Shalatu was Salamu ‘ala RasuliLLAAHi wa ‘ala ‘alihi,
Ikhwah wa akhwat fiLLAAH,
Permasalahan kedua yang ingin ana bahas berkaitan dengan tema wirid Al-Ma’tsurat adalah berkaitan dengan kayfiyyat (tatacara) membacanya, karena banyak orang yang mempertanyakan mengapa sebagian ikhwah ada yang membacanya sendiri-sendiri (dan ini disepakati kesunnahannya), namun adapula yang membacanya secara berjama’ah (bersama-sama) bukankah cara yang kedua ini termasuk bid’ah?
Dalam kesempatan ini ana akan mencoba membahas (sesuai dengan kebiasaan ana) yaitu menjelaskan duduk permasalahan serta metode istinbath (pengambilan hukum) yang dilakukan para ulama salaf dari Al-Qur’an & As-Sunnah. Dan setelah itu ana akan mencoba menjelaskan bagaimana sampai terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan salaf) tentang masalah tsb.
Dan dalam masalah ini ana akan konsisten untuk menjelaskan duduk masalah ikhtilaf di kalangan mereka tsb sepanjang ia masih disandarkan pada dalil yang shahih. Dan sekali lagi, tsumma sekali lagi, ana akan konsisten mengajak ummat ini untuk mengetahui letak perbedaan pendapat tsb dan ana tidak akan mengarah-arahkan ummat pada satu pendapat tertentu atau kesimpulan tertentu yang ana pilih ataupun sesuai dengan pendapat Syaikh Fulan atau Lajnah Fulan yang “lebih baik” dari pendapat Si Fulan atau Hizb Fulan.
Sebab sebagaimana dikatakan oleh Fadhilatu Syaikh DR Yusuf Al-Qaradhawi –hafizhahuLLAAH- bahwa terjadinya ta’ashub (fanatik) golongan & tafarruq di antara ummat [1] bukan disebabkan karena banyaknya kelompok, partai, dan hizb, melainkan pangkal mula dari para muta’ashshibin tsb adalah jika suatu kelompok sudah merasa dirinya “paling benar” atau “paling berhak” untuk menafsirkan atau menyimpulkan hukum dan kemudian mulai membawa “palu bid’ah” atau “mukhalifu-sunnah” untuk dipukulkan kepada mereka yang berbeda dengannya.
Kembali ke pokok tema kita hari ini. Tentang pendapat yang menganjurkan untuk dzikir secara sendiri-sendiri dengan tidak berjama’ah atau tidak dalam satu suara, ana tidak akan membahasnya disini, karena insya ALLAAH hal ini sudah muttafaq ‘alayh (disepakati adanya). Namun yang akan ana bahas adalah mengenai adakah dalilnya bagi mereka yang berdzikir secara berjama’ah menurut Al-Qur’an, As-Sunnah serta mafahim Ulama Salafus Shalih? Jawabannya bi-idzniLLAAH adalah sbb;
DALIL AL-QUR’AN DAN TAFSIRNYA:
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).” [2]Berkata Imam Abu Ja’far dalam tafsirnya [3], para ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “ad-du’a” yang dipanjatkan oleh para kaum dhu’afa tsb. Ada yang memaknainya shalat fardhu, ada yang memaknainya tempat di-shaff belakang saat shalat berjama’ah, dan ada yang memaknainya PARA AHLI DZIKIR, dan ada pula yang memaknainya mempelajari Al-Qur’an & membacanya, dan ada pula yang mengartikannya ibadah mereka. Lalu Imam At-Thabari menguatkan bahwa maknanya adalah berdoa kepada ALLAAH baik dengan memujinya, mensucikannya baik melalui lisan dan perbuatan [4].
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [5]Imam Abu Ja’far berkata bahwa maknanya ialah: “Bersabarlah engkau wahai Muhammad bersama para sahabatmu dalam bertasbih, bertahlil, bertahmid, berdoa dan beramal shalih (baik dengan shalat fardhu maupun sunnah) yang kesemuanya itu untuk mengharapkan keridhoan ALLAAH SWT dan tidak mengharapkan dengan semua perbuatan tsb keuntungan sesaat di dunia saja.” [6]
Berkaitan dengan makna yang kita pilih (dzikir bersama dalam satu majlis) dalam konteks ini Imam Abu Ja’far –rahimahuLLAAH- meriwayatkan sebuah hadits sbb; “Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahhab, mengkabarkan padaku Usamah bin Zaid, dari Abu Hazim, dari AbduRRAHMAN bin Sahl bin Hunaif, dari AbduRRAHMAN bin Sahl bin Hunaif berkata bahwa ayat ini turun saat nabi SAW sedang berada di salah satu rumah istrinya, maka beliau SAW segera keluar dan menemui suatu kaum sedang sama-sama berdzikir kepada ALLAAH SWT, dst…, lalu beliau SAW ikut duduk bersama mereka…” [7]
Imam – Muhyis Sunnah – Abu Muhammad Al-Baghawi juga meriwayatkan hadits senada dengan ini dalam tafsirnya[8] dari Qatadah RA: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ahlus Shuffah, yaitu sekitar 700 orang shahabat di masjid nabi SAW yang (tidak punya pekerjaan tetap), tidak berdagang, tidak bertani & tidak memerah susu, sehingga mereka sering menyambung shalat & menunggu antara waktu-waktu shalat menunggu (dengan berdzikir & berdoa), dst.” [9]
DALIL AS-SUNNAH DAN SYARAH-NYA:
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِى الطُّرُقِ ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ . قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا . قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهْوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِى قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ ، وَيُكَبِّرُونَكَ ، وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ . قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِى قَالَ فَيَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ . قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِى قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً ، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا ، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا . قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِى قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ . قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا . قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا ، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا ، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً . قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنَ النَّارِ . قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْهَا . قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا ، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً . قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ . قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ . قَالَ هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
“Sesungguhnya ALLAAH SWT memiliki para Malaikat yang selalu berkeliling kemana-mana untuk mencari para Ahli Dzikir, apabila mereka menjumpai SEKELOMPOK KAUM YANG SEDANG BERDZIKIR kepada ALLAAH SWT maka merekapun saling berseru: Ayo kesini! Inilah kebutuhan yang kita cari! Lalu merekapun membentangkan sayap & menyelimuti mereka dengan sayap-sayapnya hingga sampai ke langit dunia. Maka ALLAAH SWT bertanya pada mereka (padahal IA lebih mengetahui dari mereka): Apa yang dikatakan oleh para hamba-hamba-KU itu? Maka jawab para malaikat: Mereka semua bertasbih, bertakbir, bertahmid memuliakan ENGKAU. Maka ALLAAH SWT berfirman: Apakah mereka bisa melihat-KU? Maka jawab para malaikat: Tidak demi ALLAAH mereka tidak bisa melihat-MU. Maka firman ALLAAH SWT: Bagaimana jika mereka bisa melihat-KU? Jawab Malaikat: Jika mereka dapat melihat-MU maka mereka akan lebih hebat lagi beribadah, memuliakan, bertasbih. Maka firman-NYA: Apa yang mereka minta? Jawab Malaikat: Mereka meminta Jannah. Firman-NYA: Apakah mereka sudah melihatnya? Jawab malaikat: Belum demi ALLAAH mereka belum pernah melihatnya. Maka firman-NYA: Bagaimana jika mereka melihatnya? Jika mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan lebih lagi menginginkan, memintanya dan mengejarnya. Firman-NYA: lalu terhadap apa mereka meminta perlindungan? Jawab Malaikat: Terhadap neraka. Firman-NYA: Apakah mereka sudah melihatnya? Jawab Malaikat: Belum demi ALLAAH mereka belum pernah melihatnya. Maka firman-NYA: Bagaimana jika mereka melihatnya? Jika mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan lebih lagi melarikan diri, merasa takut kepadanya. Firman-NYA: Maka saksikanlah oleh kalian bahwa aku telah mengampuni mereka semua. Maka berkata salah satu Malaikat: Disana ada Fulan yang bukan termasuk mereka, ia Cuma datang karena ada keperluan saja. Firman-NYA: Mereka ada dalam satu majlis, maka tidak rugilah orang yang ada dalam majlis tsb.” [10]Berkata Imam –Al-Hafizh- Ibnu Hajar Al-Asqalaniy dalam syarah-nya atas hadits ini sbb: “Bahwa yang dimaksud majlis Dzikir adalah majlis berdzikir kepada ALLAAH SWT seperti bertasbih, bertakbir, tilawah Qur’an, berdoa untuk kebaikan dunia & akhirat, membacakan hadits-hadits Nabi SAW, mempelajari ilmu-ilmu syariat, berkumpul untuk melakukan shalat sunnah, dst… (sampai kata-katanya) dan ini menunjukkan keutamaan Majlis Dzikir dan MAJLIS ORANG-ORANG YANG BERDZIKIR dan KEUTAMAAN BERKUMPUL UNTUK MELAKUKAN ITU SEMUA.” [11]
Berkata Imam Ibnu Baththal dalam syarah-nya: “Dzikir itu ada dua macam. Pertama adalah dengan mengingat perintah & larangan-NYA, dan kedua adalah berdzikir dengan lisan. Kedua jenis dzikir tsb mendapatkan pahala.. dst, sampai kata-katanya: Keutamaan pada keduanya itu, pahala & kemuliaannya itu lebih besar lagi jika melakukannya secara bersama-sama (ijtima’)…” [12]
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah duduk suatu kaum untuk berdzikir kepada ALLAAH ‘Azza wa Jalla, kecuali Malaikat menutupi mereka (dengan sayap-sayap mereka), mereka pun diliputi oleh kasih sayang ALLAAH SWT, dan turun ketenangan dari sisi ALLAAH dan ALLAAH menyebut (nama-nama) mereka di kalangan para malaikat yang disisi-NYA.” [13]Berkata Imam An-Nawawi –rahimahuLLAAH- dalam kitab syarah-nya sbb [14]: “Dalam hadits ini jelas disebutkan tentang keutamaan berdzikir & keutamaan Majlis-majlis untuk itu, duduk-duduk bersama ahli dzikir sekali pun ia tidak BERDZIKIR BERSAMA-BERSAMA MEREKA, serta keutamaan majlis orang-orang shalih serta barakah bersama mereka, waLLAAHu a’lam.”
يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Berfirman ALLAAH SWT (dalam hadits Qudsiy): AKU tergantung prasangka hamba-KU terhadap-KU, dan aku bersamanya jika ia mengingat-KU, jika ia mengingat-KU di dalam hatinya maka aku mengingatnya di dalam hati-KU, dan jika ia mengingat-KU DALAM SUATU KELOMPOK maka AKU mengingatnya dalam kelompok yang lebih baik dari mereka, dan jika ia mendekat sejengkal maka AKU mendekat padanya sehasta, jika ia mendekat sehasta maka AKU mendekat padanya sedepa, dan jika ia mendekat pada-KU dengan berjalan maka AKU mendekat padanya dengan berlari.” [15]Berkata Imam Ibnu Hajar bahwa makna “Mala’in” adalah jama’ah [16]; demikian pula pendapat Imam Al-Aini dlm syarah-nya terhadap hadits ini [17]. Pengarang Tuhfatul Ahwadzi menambahkan [18]: “Yaitu berdzikir bersama jama’ah kaum muslimin ataupun di hadapan mereka.” Sekedar menambahkan sampai Imam An-Nawawi –rahimahuLLAAH- dalam kitabnya yang terkenal Riyadhus-Shalihin mengumpulkan beberapa hadits dalam bab [19] yang diberinya judul “Keutamaan Halaqah Dzikir & Disunnahkan Komitmen Dengannya Serta Dilarang Memisahkan Diri Darinya Tanpa Adanya Uzur”, tentunya kita memahami bahwa yang disebut halaqah dzikir bisa dimaknai orang yang berdzikir bersama-sama dalam satu jama’ah, sekalipun makna berdzikir sendiri-sendiri di suatu tempat bisa juga diterima.
Demikianlah wahai ikhwah wa akhawat fiLLAAH, a’anakumuLLAAHa jami’an, apa yang ana sampaikan ini tidaklah berarti menafikan keutamaan dzikir masing-masing (munfarid), bahkan sebenarnya inilah yang lebih utama & lebih sering dilakukan oleh kalangan Salaf. Namun jikapun ada yang melakukannya secara bersama-sama maka hendaklah tidak dianggap bid’ah, karena masalah ini merupakan makanul-khilaf, karena sebagaimana saya tunjukkan bahwa dalil-dalil yang ada masih memungkinkan adanya perbedaan dalam penafsiran, sehingga yang dapat kita lakukan adalah memilih salah satu pendapat yang lebih kuat (berdasarkan penelitian) tapi menghormati bagi yang ingin memilih pendapat yang lain.
WaLLAAHu a’lamu bish Shawaab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar